Islamic Widget

Monday, March 7, 2011

Episode Cinta di Akhir Hayat Nabi Muhammad

Berikut ini adalah sepenggal kisah dari episode kehidupan Nabi Muhammad saw yang dinukil dari kitab “Duratun Nashihin”. Kisah ini menggambarkan keadilan Rasulullah dan kecintaan para sahabatnya. Sebuah cinta yang berlandaskan iman dan berbalas surga.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa setelah dekat wafat Nabi Muhammad SAW, Beliau memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat kepada manusia. Bilal lalu menyerukan Adzan dan berkumpullah para Sahabat Muhajirin dan Anshar ke Masjid Rasulullah SAW. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat ringan bersama para sahabat. Kemudian naik mimbar, memuji dan menyebut keagungan Allah SWT.
Beliau berkhutbah dengan sebuah khutbah yang dalam, hati menjadi takut karenanya, dan air mata bercucuran karenanya.
Kemudian Beliau bersabda: “Wahai sekalian muslimin, sesungguhnya aku adalah seorang Nabi kepada kamu, pemberi nasihat dan berda’wah kepada Allah SWT dengan seijinNya. Dan aku berlaku kepadamu sebagai seorang saudara yang menyayangi dan sekaligus sebagai ayah yang belas kasih. Barang siapa diantara kamu yang mempunyai suatu penganiayaan pada diriku, maka hendaklah dia berdiri dan membalas kepadaku sebelum datang balas membalas di hari kiamat.”
Tidak ada seorangpun yang berdiri menghadapnya, sehingga Beliau bersabda demikian kedua kali dan ketiga kalinya. Barulah berdiri seorang laki-laki bernama Akasyah bin Muhshin.
Berdirilah dia di depan Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Demi Ayah dan Ibuku sebagai tebusanmu Ya Rasulullah, seandainya engkau tidak mengumumkan kepada kami berkali-kali, tentu aku tidak akan mengajukan sesuatu mengenai itu. Sungguh aku pernah bersamamu di Perang Badar. Saat itu untaku mendahului untamu. Maka turunlan aku dari unta dan mendekatimu agar aku dapat mencium pahamu. Tetapi engkau lalu mengangkat tongkat yang biasa engkau pergunakan untuk memukul unta agar cepat jalannya dan engkau pukul lambungku. Aku tidak tahu apakah itu atas kesengajaan dirimu atau engkau maksudkan untuk memukul untamu ya Rasulullah?”.
Rasulullah bersabda: “Mohon perlindungan kepada Allah hai Akasyah, kalau Rasulullah sengaja memukulmu.”
Bersabda lagi Beliau kepada Bilal: “Hai Bilal, berangkatlah ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku.”
Maka keluarlah Bilal dari Masjid sedang tangannya diatas kepalanya: “Ini adalah Rasulullah, sekarang Beliau memberikan dirinya untuk diqishash.”
Dia mengetuk pintu Fathimah, dan bertanyalah Fathimah: “Siapa yang ada di depan pintu?”
Bilal menjawab: “Aku datang untuk mengambil tongkat Rasulullah”
Fathimah bertanya: “Hai Bilal, apa yang akan diperbuat Ayah dengan tongkat itu?”
Bilal menjawab: “Hai Fathimah, Ayahmu memberikan dirinya untuk di qhisash.”
Fathimah bertanya lagi: “Hai Bilal, siapakah yang sampai hatinya mau membalas pada Rasulullah?”
Lalu Bilal mengambil tongkat itu dan masuklah dia ke Masjid serta memberikan tongkat itu kepada Rasulullah, sedang Rasul kemudian menyerahkannya kepada Akasyah.
Ketika Abu Bakar dan Umar ra. memandangnya, maka berdirilah mereka berdua dan berkata: “Hai Akasyah, aku masih berada didepanmu, maka balaslah kami dan janganlah engkau membalas kepada Nabi Muhammad SAW.”
Bersabdalah Rasulullah SAW: “Duduklah engkau berdua, Allah telah mengetahui kedudukanmu.”
Berdiri pula Ali ra. dan berkatalah dia: “Hai Akasyah, aku masih hidup di depan Nabi Muhammad SAW. Tidak akan aku sampai hati kalau engkau membalas Rasulullah SAW. Ini punggungku dan perutku, balaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tanganmu.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Ali, Allah telah mengetahui kedudukan dan niatmu.”
Berdiri pula Hasan dan Husain, dan mereka berkata: “Hai Akasyah, bukankan engkau mengenal kami berdua. Kami adalah dua orang cucu Rasulullah. Membalas kepada kami adalah sama seperti membalas kepada Rasulullah.”
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Duduklah engkau berdua wahai penyejuk mataku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “Hai Akasyah, pukullah kalau engkau mau memukul.”
Akasyah berkata: “Ya Rasulullah, engkau memukulku dahulu dalam keadaan aku tidak terhalang pakaianku.”
Lalu Rasulullah menyingkapkan pakaiaannya, dan berteriaklah orang-orang Islam yang hadir seraya menangis.
Ketika melihat putihnya jasad Rasulullah, Akasyah menubruknya dan mencium punggungnya.
Berkatalah dia: “Nyawaku sebagai tebusanmu ya Rasulullah, siapakah yang akan sampai hati untuk membalasmu ya Rasulullah. Aku melakukannya hanya mengharapkan agar tubuhku dapat menyentuh jasadmu yang mulia, dan Allah akan memelihara aku berkat kehormatanmu dari neraka.”

Bersabdalah Nabi Muhammad SAW: “Ingat, barang siapa yang ingin melihat penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini.
Semua orang Islam yang hadir berdiri, dan mencium antara kedua mata Akasyah seraya berkata: “Beruntung sekali engkau, engkau berhasil mendapatkan derajat yang tinggi dan berkawan dengan Nabi Muhammad SAW di surga.

Cahayakan Hati, Tinggalkan Dengki.. Syurga Menanti

nOr_hiDayah

ANAS bin Malik berkata, kami berada di dalam masjid bersama Nabi SAW, tiba-tiba Baginda bersabda, "Akan masuk kepadamu seorang ahli syurga sambil memegang kedua-dua sandalnya dengan tangan kirinya"
Maka tiba-tiba masuk seorang sebagaimana yang disabda Nabi itu. Sesudah memberi salam ia duduk bersama kami.

Kemudian esok harinya, Rasulullah SAW bersabda sama seperti sebelumnya. Masuk lelaki berkenaan dan hari ketiga Nabi SAW bersabda dan peristiwa sama berulang. Ketika lelaki itu bangun untuk pulang, Abdullah bin Amr Al-Ash mengekorinya sambil berkata, "Terjadi pertengkaran sedikit antaraku dengan ayahku sehingga aku bersumpah tidak akan bertemunya selama tiga malam, maka jika engkau tidak keberatan maka saya akan bermalam di tempatmu selama tempoh berkenaan. Jawabnya, " Baiklah".

Anas berkata, " Abdullah bin Amr menceritakan bahawa ia bermalam di tempat lelaki itu dan ternyata orang itu tidak bangun malam, hanya jika tidur berzikir sehingga bangun fajar, dan jika berwuduk sempurna dan juga sembahyang dengan khusyuk dan tidak puasa sunat. Itu yang saya perhatikan kelakuannya sampai tiga hari tiga malam tidak lebih dari itu, dan ia tidak berkata-kata kecuali yang baik".


"Setelah tiga malam saya berasa ia tidak mempunyai amal yang berlebihan dan berkata kepadanya, "Sebenarnya antaraku dengan ayahku tidak ada apa-apa, tetapi saya mendengar Rasulullah SAW bersabda dalam tiga hari majlis berturut-turut. "Akan tiba padamu seorang ahli syurga". Tiba-tiba engkau yang datang, kerana itu, "Saya ingin mengetahui apa amalmu dan saya berusaha bermalam di tempatmu untuk meniru amalmu tetapi ternyata kepadaku bahawa engkau tidak berlebihan". "Apakah yang engkau lakukan sehingga menyebabkan Nabi SAW bersabda sedemikian"? Jawabnya: "Tidak ada melainkan apa yang sudah engkau lihat"
.

Maka aku pun meninggalkannya, tetapi dipanggilnya semula dan berkata, "Amalku tidak lebih melainkan apa yang sudah engkau saksikan itu, namun saya tidak iri hati atau dengki pada seseorang Muslim terhadap segala yang ia mendapatnya". Saya berkata, " Inilah yang dilakukan engkau sehingga Nabi SAW bersabda sedemikian dan itulah yang tidak dapat kami laksanakan".

-Sumber Abullaits Assamarqandi, Tanbihul Ghafilin.

tEladaN dI daLam kePimpiNan

Cuaca di luar sangat panas terik. Ketika itu sahabat Nabi s.a.w., Saidina Uthman bin Affan r.a. sedang berehat di rumahnya. Dari jendela rumahnya dia dapat melihat seorang lelaki yang sudah berumur, berjalan terhoyong-hayang menutupi mukanya dari kepanasan dan debu yang berterbangan.
Saidina Uthman kehairanan. Siapakah lelaki yang sanggup berjalan di tengah panas itu sedangkan orang lain semuanya berteduh, di kala hari yang panas begitu terik sedemikian rupa. Pasti dia berada di dalam kesusahan. Lantas dia membuat andaian sendiri.

Kemudian, lelaki itu kelihatan memegang seekor lembu pada tali kekangnya. Saidina Uthman memanggil lelaki yang tidak dikenali dari jauh itu, supaya berteduh di rumahnya dari panas terik, selain ingin mengetahui siapakah gerangan lelaki tersebut.

Setelah lelaki itu tiba di halaman rumahnya, Saidina Uthman terperanjat kerana ternyata rupa-rupanya dia ialah Amirul Mukminin Khalifah Umar Al-Khattab. Saidina Uthman segera keluar dari rumahnya dan bertanya, “Engkau dari mana wahai Amirul Mukminin?”

Saidina Umar menjawab, “Sebagaimana yang engkau melihat, aku sedang mengheret lembu ini.”

“Siapakah pemiliknya?” Tanya Saidina Uthman dengan penuh kehairanan, bagi mendapatkan kepastian. Sebab biasanya Saidina Umar tidak begitu menghiraukan harta bendanya sendiri.

“Ini adalah kepunyaan anak-anak yatim yang telah terlepas dari kandangnya dan berlari di jalan. Aku telah mengejarnya sehinggalah aku dapat menangkapnya.”

Saidina Uthman bertanya lagi, “Tidak adakah orang lain yang boleh melakukan pekerjaan itu selain engkau, bukankah engkau seorang Khalifah?”

Saidina Umar menjawab dengan tegas, “Siapakah yang bersedia menebus dosaku di hari perhitungan kelak? Mahukah orang itu memikul tanggungjawabku di hadapan Allah? Kekuatan adalah amanah bukan kehormatan.”

Maka Khalifah Umar Al-Khattab pun meneruskan perjalanannya. Saidina Uthman hanya melihatnya pergi dengan air matanya jatuh berguguran membasahi pipi. “Engkau merupakan cermin sebagaimana seharusnya menjadi kewajipan seorang pemimpin negara dan merasa berat dirasakan oleh Khalifah selepasmu.”

Sedikit kesimpulan dari perkongsian cerita ini, pemimpin yang beriman sebegitu, merasa bimbang dan resah dengan jawatan dan amanah yang disandangnya kerana tanggungjawab itu sungguh berat. Berbeza sekali dengan manusia pada zaman ini yang mana mereka berlumba-lumba ingin mendapatkan jawatan, tanpa mengira ianya melobi atau rasuah, supaya dapat menggunakan kuasa dan wang yang ada padanya.


p/s : Pemimpin negara kita hari ini bagaimana pula ya? Apakah masih ada di dalam hati-hati mereka tentang tanggungjawab mereka terhadap rakyat? Rakyat yang memberi kepercayaan kepada mereka, seharusnya mereka membalas kepercayaan tersebut, dengan menjaga kepentingan rakyat, mendengar rintihan dan luahan hati rakyat.. Amanah dan kepercayaan dari rakyat, wasilah untuk berkhidmat untuk rakyat, bukan untuk membebankan rakyat..=p